When Kids "Romanticizing" Mental Health Issues
These all are start from here. Salah satu temen gue ada yang reply postingan base di twitter yang bahas tentang ini. Ill share some of my opinions based on my personal experience.
Anak yang nulis ini, umurnya sekarang 10 tahun. Sudah bisa merasa, sudah bisa berfikir, sudah ada yang mulai pubertas, dan di agama gue sudah harus sholat karena sudah bisa berfikir. Dan yang gak bisa dilupain mereka sudah punya perasaan dan emosi.
Masa kecil sering dipandang sebagai sesuatu yang indah dan dirindukan (bagi mereka yang masa kecilnya penuh kebahagiaan). Padahal, perlu diingat tidak semua anak memiliki masa kecil yang indah dan penuh kebahagiaan. Ada sebagian dari anak kecil yang sudah disuapi pahitnya hidup oleh lingkungan sekitar mereka. Dan satu hal yang perlu digarisbawahi lagi, mereka tidak ingin memiliki kehidupan masa kecil yang seperti itu. Maka dari itu, gue simpulkan bahwa
There are two possibilities:
1. Mereka memang benar-benar merasakan stress
2. Mereka mendapatkan input (yang seharusnya belum di dapat oleh anak seusia mereka) yang menjadikan mindset yang terbentuk salah. Hal ini menyebabkan mereka dengan mudah meromantisisasi masalah mental. Parahnya lagi, mungkin mereka menganggap ini adalah hal yang keren dan trendy.
People's Responses
And most people are denying, disparaging, and not validating their emotions. Respons yang salah menurut gue.
Why They Shouldn't Do That?
Cause we never knew the truth. As i said before, there are two possibilities. Kita gak tau mereka benar benar stress atau itu adalah bentuk kesalahan mindset karena mereka belum seharusnya menerima input itu dari media sosial, yang mana jatuhnya romantisisasi. Let me tell what had happened to me when im 10.
6 tahun bisa membawa banyak perubahan. Gue juga anak umur 10 tahun, 6 tahun yang lalu. Dan gue adalah anak yang "stress" juga di usia itu. Dimana, media sosial gue dulu isinya masih slime dan squishy. Mental health awareness masih dikit banget dan belum nyampe ke timeline anak umur 10 tahun.
Ya akhirnya saat itu gue yang sedih, merasa sendiri, banyak kehilangan (termasuk atensi dan afeksi), dan tertekan cuma bisa nahan emosi gue. Karena lingkungan yang tidak ramah untuk gue bisa mengekspresikan kesedihan gue saat itu dan diri gue yang masih terlalu kecil untuk bisa maintain emosi gue sendiri.
Akibatnya? Gue suatu hari tantrum di kelas, jambakin temen gue, ngata-ngatain. emotions releasement nya tidak tepat waktu, tempat, dan sasaran. Itu semua karena kurangnya validasi emosi.
At the end, kita sebagai orang yang tahu 0 fakta tentang anak yang menulis statement tadi, tidak akan pernah berhak judging. Karena, kalau kita salah menilai, impactnya serius.
Parents' Responsibility
Dalam kasus ini, menurut gue orang tua berperan sangat penting. Dua kemungkinan yang gue mention tadi, dua-duanya tidak benar dalam ruang masing-masing yang berbeda. Dua duanya tidak seharusnya terjadi.
Talking about the first possibility, anak umur 10 tahun merasa stress.
however, ini tetap terlalu menyedihkan untuk lihat anak anak umur 10 tahun harus merasakan stress bahkan depresi. Pointnya bukan terpusat di "orang tua tidak seharusnya membiarkan anaknya stress" karena garis hidup gak pernah ada yang bisa otak-atik. Tapi pointnya lebih di "ketika anak umur 10 tahun stress, jangan sampai mereka semakin jatuh karena orang tuanya tidak hadir"
Salah satu hal yang penting adalah untuk bisa memvalidasi perasaan anak. Karena apa yang terjadi di gue 6 tahun yang lalu adalah sesuatu yang gue harapkan tidak terjadi pada orang lain. Dan menurut gue, ketika orang tua benar-benar hadir secara mentally, anak umur 10 tahun tidak akan mengalami stress berat. Anak umur 10 tahun kodratnya adalah bahagia sebisa mungkin. Belajar dan menyiapkan masa depan. Karena, dewasa sebelum waktunya juga bukan achievment yang membanggakan.
And talking about the second possibility,
orang tua juga seharusnya bisa controlling kids' access to their social media. Untuk memantau apa yang mereka lihat dan input apa yang mereka dapat. Gue disini beropini sebagai anak sih, karena orang tua gue sampai saat ini masih tau apa yang gue lakukan di sosial media dengan tetap memberikan gue kepercayaan. Gue juga jadi ngerasa lebih free dan leluasa tetapi tetap dengan kesadaran bahwa gue punya tanggung jawab tentang apa yang gue lakuin dan berusaha untuk gak merusak kepercayaan orang tua gue.
Mau gak mau menurut gue memantau isi media sosial anak sedetail mungkin adalah tuntutan sebagai orang tua. Ya emang susah dan besar kemungkinan gagal, cuma ya that's your responsibility as parents. Punya anak memang komitmennya besar.
Dalam kasus kaya gini, yang bahaya menurut gue adalah ketika terjadi kesalahan pembentukan mindset anak karena dapat input yang belum seharusnya mereka dapat dan dari sumber yang tidak tepat untuk mereka. Pengertian yang salah menjadikan biang timbulnya aksi yang salah di kemudian hari. Padahal, issue kaya gini adalah issue yang penting dan tidak sederhana. Miris kalau terjadi misconception dalam issue seperti ini. Apalagi, anak seumuran gue dan mereka adalah kunci masa depan. Dan ketika generasi kedepannya gak berkualitas kaya gini, peran orang tua adalah salah satu penyebabnya.
Gue belum jadi orang tua, tapi gue melihat gue lahir dan di didik dalam parenting yang baik. Dan gue paham kalau jadi orang tua itu susah. Jadi, hal kaya gini sebenernya adalah pelajaran buat diri gue sendiri.
Conclusion
Pendidikan orang tua sangatlah penting untuk anak, supaya tidak terjadi hal hal yang gak baik kaya dua hal yang sudah di bahas. Hal buruk sometimes gak bisa kita hindari, tapi bisa kita cegah dan antisipasi.
Dan sebagai netizen, kita tidak akan pernah berhak menilai apalagi sampai menggunjing orang. Apapun keadaanya, itu mungkin terjadi. Daripada sibuk ngatain, better kita introspeksi dan siapin bekel supaya kita bisa mendidik anak kita sebagai anak yang baik dan gak stress. Jangan lupa, tanggung jawab generasi selanjutnya ada di tangan kita.
Komentar
Posting Komentar